Oligarki kekuasaan kontradiktif dengan prinsip demokrasi. Keduanya
bertolak belakang: yang satu bersendi pada dominasi, monopoli, dan hegemoni;
sementara yang lainnya memegang prinsip kebebasan, kesetaraan, dan keadilan.
Oligarki kekuasaan dapat dilihat dari dua perspektif: politik dan
ekonomi-politik. Oligarki dalam perspektif politik adalah fenomena sentralisasi
kekuasaan pada segelintir elit, padahal itu menyangkut kepentingan publik. Ini
yang oleh Robert Michels (1996)diistilahkan The Iron Law of Oligarch atau Hukum Besi Oligarki. Sementara dari
perspektif ekonomi-politik, oligarki kekuasan merupakan relasi antara kuasa
yang mensentralisasi sumber daya ekonomi sebuah negara atau kawasan hanya di
tangan segelintir pihak. Relasi ini dapat potensial terjadi antara politisi
dengan pebisnis.
Jika menurut Robert Dahl(1971), partai politik memegang peranan sangat penting sebagai salah satu
agen demokrasi, maka mental oligarki harus dijauhkan dari radar kerja partai
politik. Partai politik justru harus menjadi percontohan miniatur demokrasi.
Dalam konsep demokrasi, partai politik memiliki peran strategis dalam
mengembangkan kehidupan politik secara demokratis, terutama di internalnya.
Prinsip dasar ini penting untuk dijadikan spirit kepartaian, karena
menurut Robert Michels (1996),
sebagai sebuah entitas politik, partai politik tidak secara otomatis
mengidentifikasi dirinya dengan kepentingan para anggotanya maupun kelas sosial
yang mereka wakili. Partai politik sangat rentan terjebak sebagai alat yang
digunakan untuk merealisasikan kepentingan kelompok elite tertentu. Sehingga
partai politik digunakan bukan sebagai alat utuk mencapai tujuan demokratisasi,
melainkan sebagai penghalang dari demokratisasi itu sendiri. Kepentingan
anggota dan konstituen yang telah membentuk partai politik itu sendiri, kerap
kali terlupakan dan terhalangi oleh kepentingan segelintir elitenya.
Fenomena
oligarki kekuasaan yang mengemuka di tubuh Partai Golkar di bawah kepemimpinan
Aburizal Bakrie (Ical) kontradiktif dengan budaya politik partai ini. Karena,
Partai Golkar merupakan partai terbuka, inklusif, dan seharusnya dikelola
secara profesional, berbasis kualifikasi-kaderisasi, akuntabel, dan transparan.
Semua karakteristik tersebut menjadikan Golkar sebagai partai yang memenuhi prasyarat
demokratisasi dalam internalnya. Dan hingga kini, demokratisasi partai ini
terus menguat, stabil, dan menyempurnakan sisi-sisi lemahnya.
Jika kini Partai Golkar sedang menghadapi gejala oligarki
kekuasaan, secara natural fenomena ini akan mendapatkan resistensi dari tubuh
partai ini sendiri. Seperti virus yang ditolak oleh sistem imunitas tubuh,
oligarki kekuasaan tidak akan mendapatkan tempat yang langgeng di internal
Partai Golkar.
Sebagai sebuah partai, Golkar sudah terbiasa dengan budaya
pluralitas. Kader Golkar sangat beragam, berasal dari latar belakang yang
berbeda-beda. Baik ideologinya, pendidikan, latar sosial, hingga agamanya. Di
internal Golkar, tak ada sekat pembeda antara kader. Parameter utamanya hanya
satu: kualitas individual, kapasitas diri, dan integritas personal. Di dalam
Golkar, yang dilihat adalah aspek kualifikatif seorang kader, bukan
kuantifikatifnya.
Mulai dari tingkat kaderisasi paling bawah, kader-kader Partai
Golkar sudah akrab dengan keragaman. Perbedaan pandangan sudah menjadi konsumsi
keseharian. Partai Golkar selalu ramai dengan paradigma. Dari struktur paling
bawah hingga puncak, tak ada sekat-sekat perbedaan, apalagi diskriminasi
organisasional. Semua kader dari seluruh lapisan membaur dalam iklim demokratis
Golkar. Pada setiap momen kepartaian, suasana selalu “panas” dan dinamis. Di
tubuh Partai Golkar, kritik bukan tabu. Benih ini sudah tumbuh sejak di level
sayap keorganisasian partai ini. Para calon politisi ditempa dengan keragaman,
perbedaan, dan kompetisi berbasis kualifikasi.
Justru aneh, ketika partai ini dipaksa sepi dari perbedaan. Partai
Golkar tak terbiasa dengan habitus politik model itu. Partai ini akan merasa
teralienasi dari jati dirinya yang sebenarnya. Jika ada kader, pengurus, atau
pimpinan Partai Golkar yang alergi dengan kritik, maka dengan sendirinya ia
akan tereleminir. Eleminasi itu terjadi secara natural, karena basis kultural
partai ini memang kritisisme. Tak ada tempat untuk kader, pengurus, atau
pimpinan yang antipati dengan kritisime partai.
Memang harus jujur diakui, bahwa dalam beberapa tahun terakhir
kecenderungan oligarki tumbuh. Namun secara natural, perlawanan terhadap
praktik oligarki kekuasaan di tubuh Partai Golkar terus menguat. Demokrasi
sudah menjadi budaya di tubuh Partai Golkar. Sehingga segala bentuk tindakan
yang bertentangan dengan spirit itu, akan mendapatkan penolakan dari internal
Partai Golkar sendiri. Salah satunya oligarki kekuasaan. Di Partai Golkar, tak
ada tempat untuk “faham” yang satu itu. Alasannya sederhana: karena oligarki
bertentangan dengan prinsip demokrasi.
Joseph Schumpeter (1942) sangat mengkhawatirkan fungsi dari partai
politik hanya sebagai asosiasi beberapa individu yang berkompetisi untuk meraih
kekuasaan. Atau lebih parah dari itu, partai politik menjadi sarana asosiatif
dimana kelompok tertentu mengatur kompetisi politik layaknya praktek yang sama
yang dilakukan oleh asosiasi perdagangan (and they constitute an attempt to
regulate political competition exactly similar to the corresponding practice of
a trade association). Pandangan Schumpeter tersebut sangat kritis menyoroti
fungsi partai politik.
Partai Golkar hendaknya kembali pada spirit dan fungsi dasarnya
yang sangat mulia sebagai partai politik, diantaranya: pertama, agregasi
kepentingan. Dalam hal ini, fungsi partai politik sebagai alat untuk
mempromosikan serta mempertahankan kepentingan dari kelompok-kelompok sosial
yang ada. Kedua, memperdamaikan kelompok dalam masyarakat. Partai politik
sangat berguna untuk membantu memperdamaikan aneka kepentingan yang saling
bersaing dan berkonflik dari masyarakat, dengan menyediakan platform
penyelesaian yang seragam dan disepakati bersama. Ketiga, staffing government,
mengajukan orang-orang terbaik yang memenuhi syarat integritas, kualifikasi,
dan profesionalitas sebagai pejabat publik. Keempat, mengkoordinasi
lembaga-lembaga pemerintah agar tetap memperhatikan kepentingan politik publik.
Seperti kata Thomas Aquinas, tujuan tertinggi dari politik adalah
kebaikan bersama(bonum commune). Maka, oligarki tidak akan mendapatkan ruang di
tubuh Partai Golkar. Karena partai ini ingin menjadi agen utama demokratisasi
Indonesia. Seperti ucapan Aristoteles: Negara yang cacat adalah negara yang
hanya mementingkan kepentingan dan keinginan penguasa politis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar