Rabu, 17 Mei 2017

Imunitas Golkar pada Oligarki Kekuasaan Gagasan Fayakhun Andriadi



Oligarki kekuasaan kontradiktif dengan prinsip demokrasi. Keduanya bertolak belakang: yang satu bersendi pada dominasi, monopoli, dan hegemoni; sementara yang lainnya memegang prinsip kebebasan, kesetaraan, dan keadilan. Oligarki kekuasaan dapat dilihat dari dua perspektif: politik dan ekonomi-politik. Oligarki dalam perspektif politik adalah fenomena sentralisasi kekuasaan pada segelintir elit, padahal itu menyangkut kepentingan publik. Ini yang oleh Robert Michels (1996)diistilahkan The Iron Law of Oligarch atau Hukum Besi Oligarki. Sementara dari perspektif ekonomi-politik, oligarki kekuasan merupakan relasi antara kuasa yang mensentralisasi sumber daya ekonomi sebuah negara atau kawasan hanya di tangan segelintir pihak. Relasi ini dapat potensial terjadi antara politisi dengan pebisnis.
Jika menurut Robert Dahl(1971), partai politik memegang peranan sangat penting sebagai salah satu agen demokrasi, maka mental oligarki harus dijauhkan dari radar kerja partai politik. Partai politik justru harus menjadi percontohan miniatur demokrasi. Dalam konsep demokrasi, partai politik memiliki peran strategis dalam mengembangkan kehidupan politik secara demokratis, terutama di internalnya.
Prinsip dasar ini penting untuk dijadikan spirit kepartaian, karena menurut Robert Michels (1996), sebagai sebuah entitas politik, partai politik tidak secara otomatis mengidentifikasi dirinya dengan kepentingan para anggotanya maupun kelas sosial yang mereka wakili. Partai politik sangat rentan terjebak sebagai alat yang digunakan untuk merealisasikan kepentingan kelompok elite tertentu. Sehingga partai politik digunakan bukan sebagai alat utuk mencapai tujuan demokratisasi, melainkan sebagai penghalang dari demokratisasi itu sendiri. Kepentingan anggota dan konstituen yang telah membentuk partai politik itu sendiri, kerap kali terlupakan dan terhalangi oleh kepentingan segelintir elitenya.
Fenomena oligarki kekuasaan yang mengemuka di tubuh Partai Golkar di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie (Ical) kontradiktif dengan budaya politik partai ini. Karena, Partai Golkar merupakan partai terbuka, inklusif, dan seharusnya dikelola secara profesional, berbasis kualifikasi-kaderisasi, akuntabel, dan transparan. Semua karakteristik tersebut menjadikan Golkar sebagai partai yang memenuhi prasyarat demokratisasi dalam internalnya. Dan hingga kini, demokratisasi partai ini terus menguat, stabil, dan menyempurnakan sisi-sisi lemahnya.
Jika kini Partai Golkar sedang menghadapi gejala oligarki kekuasaan, secara natural fenomena ini akan mendapatkan resistensi dari tubuh partai ini sendiri. Seperti virus yang ditolak oleh sistem imunitas tubuh, oligarki kekuasaan tidak akan mendapatkan tempat yang langgeng di internal Partai Golkar.
Sebagai sebuah partai, Golkar sudah terbiasa dengan budaya pluralitas. Kader Golkar sangat beragam, berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Baik ideologinya, pendidikan, latar sosial, hingga agamanya. Di internal Golkar, tak ada sekat pembeda antara kader. Parameter utamanya hanya satu: kualitas individual, kapasitas diri, dan integritas personal. Di dalam Golkar, yang dilihat adalah aspek kualifikatif seorang kader, bukan kuantifikatifnya.
Mulai dari tingkat kaderisasi paling bawah, kader-kader Partai Golkar sudah akrab dengan keragaman. Perbedaan pandangan sudah menjadi konsumsi keseharian. Partai Golkar selalu ramai dengan paradigma. Dari struktur paling bawah hingga puncak, tak ada sekat-sekat perbedaan, apalagi diskriminasi organisasional. Semua kader dari seluruh lapisan membaur dalam iklim demokratis Golkar. Pada setiap momen kepartaian, suasana selalu “panas” dan dinamis. Di tubuh Partai Golkar, kritik bukan tabu. Benih ini sudah tumbuh sejak di level sayap keorganisasian partai ini. Para calon politisi ditempa dengan keragaman, perbedaan, dan kompetisi berbasis kualifikasi.
Justru aneh, ketika partai ini dipaksa sepi dari perbedaan. Partai Golkar tak terbiasa dengan habitus politik model itu. Partai ini akan merasa teralienasi dari jati dirinya yang sebenarnya. Jika ada kader, pengurus, atau pimpinan Partai Golkar yang alergi dengan kritik, maka dengan sendirinya ia akan tereleminir. Eleminasi itu terjadi secara natural, karena basis kultural partai ini memang kritisisme. Tak ada tempat untuk kader, pengurus, atau pimpinan yang antipati dengan kritisime partai.
Memang harus jujur diakui, bahwa dalam beberapa tahun terakhir kecenderungan oligarki tumbuh. Namun secara natural, perlawanan terhadap praktik oligarki kekuasaan di tubuh Partai Golkar terus menguat. Demokrasi sudah menjadi budaya di tubuh Partai Golkar. Sehingga segala bentuk tindakan yang bertentangan dengan spirit itu, akan mendapatkan penolakan dari internal Partai Golkar sendiri. Salah satunya oligarki kekuasaan. Di Partai Golkar, tak ada tempat untuk “faham” yang satu itu. Alasannya sederhana: karena oligarki bertentangan dengan prinsip demokrasi.
Joseph Schumpeter (1942) sangat mengkhawatirkan fungsi dari partai politik hanya sebagai asosiasi beberapa individu yang berkompetisi untuk meraih kekuasaan. Atau lebih parah dari itu, partai politik menjadi sarana asosiatif dimana kelompok tertentu mengatur kompetisi politik layaknya praktek yang sama yang dilakukan oleh asosiasi perdagangan (and they constitute an attempt to regulate political competition exactly similar to the corresponding practice of a trade association). Pandangan Schumpeter tersebut sangat kritis menyoroti fungsi partai politik.
Partai Golkar hendaknya kembali pada spirit dan fungsi dasarnya yang sangat mulia sebagai partai politik, diantaranya: pertama, agregasi kepentingan. Dalam hal ini, fungsi partai politik sebagai alat untuk mempromosikan serta mempertahankan kepentingan dari kelompok-kelompok sosial yang ada. Kedua, memperdamaikan kelompok dalam masyarakat. Partai politik sangat berguna untuk membantu memperdamaikan aneka kepentingan yang saling bersaing dan berkonflik dari masyarakat, dengan menyediakan platform penyelesaian yang seragam dan disepakati bersama. Ketiga, staffing government, mengajukan orang-orang terbaik yang memenuhi syarat integritas, kualifikasi, dan profesionalitas sebagai pejabat publik. Keempat, mengkoordinasi lembaga-lembaga pemerintah agar tetap memperhatikan kepentingan politik publik.
Seperti kata Thomas Aquinas, tujuan tertinggi dari politik adalah kebaikan bersama(bonum commune). Maka, oligarki tidak akan mendapatkan ruang di tubuh Partai Golkar. Karena partai ini ingin menjadi agen utama demokratisasi Indonesia. Seperti ucapan Aristoteles: Negara yang cacat adalah negara yang hanya mementingkan kepentingan dan keinginan penguasa politis.